Sumenep Raya

Pesan Moral

Minggu, 31 Mei 2009

Jilbab : Untuk Melindungi atau Mengendalikan Perempuan?

Beberpa waktu lalu FUI (Forum Ukhuwah Islamiyah) Yogyakarta yang terdiri dari HTI (Hizbut Tahrir Indonesia, MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) dan FSRMY (Forum Silaturrahmi Temaja Masjid Yogyakarta) mendesak diberlakukannya perda wajib jilbab di wilayah DI. Yogyakarta bagi pelajar dan perempuan di pemerintahan. “Perda ini sebagai alternatif menekan angka kriminalitas terhadap kaum wanita serta memperbaiki akhlak bangsa,” begitu alasan yang dikemukan oleh Ketua FUI DIJ Prof Ahmad Mursyidi (Jawa Pos Radar Jogja, 8 Sep 2006).

Fenomena di atas bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Sejak desentralisasi (1999) yang memberikan kewenangan lebih luas bagi daerah untuk membuat regulasi khusus mengenai daerahnya masing-masing, banyak daerah di Indonesia yang berusaha membuat Perda bernuansa Syariat Islam. Sebut saja Aceh, Gowa, Bulukumba, Sumbar, Lampung, Tangerang, Indramayu hingga Cianjur. Perda yang dibuat rata-rata berbicara soal miras (minuman keras), prostitusi, serta jilbab. Mereka meyakini bahwa syari’at Islam memiliki jawaban terhadap segala problem yang dihadapi masyarakat. Namun tidak demikian bagi perempuan, perda bernuansa syari’at Islam ini justru dinilai banyak pihak menyudutkan perempuan.

Hampir di setiap gerakan penerapan syari’at Islam, dapat dipastikan bahwa perempuanlah program awalnya. Salah satunya yang paling mendapat perhatian adalah masalah wajib jilbab bagi perempuan. Hampir pasti wacana yang berkembang pertama kali untuk membuktikan bahwa suatu daerah itu menerapkan syari’at Islam adalah dengan mewajibkan perempuan memakai jilbab. Seakan-akan jilbab adalah indikator paling nyata dari keberhasilan penerapan syari’at Islam. Bahkan untuk memastikan penerapannya dibuatlah peraturan beserta lembaga pengawasnya, serta diterapkannya sanksi bagi mereka yang melanggarnya.

Sebelum kita sepakat atau tidak sepakat dengan gerakan penerapan syari’at Islam, khususnya yang terkait dengan kewajiban berjilbab bagi perempuan, setidaknya ada empat hal yang perlu didiskusikan, yaitu syari’at Islam, jilbab, formalisasi hukum dan asumsi-asumsi yang mendasari terkait dengan perempuan.

Pertama, syari’at dalam Islam dipahami sebagai sebuah sistem normatif Islam yang sangat komprehensif. Ia mencakup persoalan hukum, akidah, doktrin, ritual atau ibadah, interaksi dan hubungan sosial atau muamalah. Sedangkan intisari atau isi dari syari’at adalah totalitas kewajiban agama dalam kehidupan publik maupun individu. Menurut Abdullah Ahmad An Naim, syari’at sebagai akidah dan ibadah bukanlah suatu yang bersifat positif yang dapat dijadikan sebagai subyek dari suatu legislasi. Misalnya yang terjadi di Arab Saudi, yaitu memaksa orang ke masjid untuk menunaikan sholat, di bawah ancaman sejata. Hal ini tidak bisa dibilang ibadah kepada Tuhan, karena substansi ibadah membutuhkan totalitas, sementara ia berada dalam suatu ancaman senjata. Dengan demikian ide memaksa orang beribadah atau memaksa perempuan memakai jilbab untuk melindungi laki-laki agar hasrat seksualnya tidak memuncak adalah semua hal yang pada dasarnya melawan tujuan dasar syari’at dan ibadah itu sendiri.

Syari’at juga seringkali dipahami sebagai hukum Islam atau bahkan sebatas fiqh itu saja. Pengertian ini didasarkan atas penafsiran ayat Al Qur’an; “waman lam yahkum bi ma anzala-allah fa’ulaika hum al fasiqun” (barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, mereka adalah orang-orang fasiq…). Tapi ayat ini tidak menjelaskan maksud dari ‘apa’ yang diturunkan Allah (bi ma anzala-Allah), sehingga menimbulkan perbedaan penafsiran dan ketidak sepakatan umat Islam dalam sejarah. Karenanya ia tidak bisa dimasukkan dalam kebijakan publik, karena hanya merupakan pendapat atau opini individu.

Kedua, kewajiban berjilbab bagi perempuan muslim. Para ulama Islam berbeda pendapat mengenai kewajiban berjilbab bagi perempuan ini. Mereka yang mewajibkan perempuan berjilbab mendasarkannya pada QS Al-Nur: 31, yaitu; “wa al-yadlribna bi khumurihinna ‘ala juyubihinna wa la yubdina zinatahunna illa bu’ulatihinna… wa la yadlribna bi arjulihinna li yu’lama ma yukhfina min zinatihinna… (dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya kecuali pada suami mereka… dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang disembunyikannya…).

Namun demikian Mohammed Shahrour dalam bukunya al-Kitab wa Alqur’an: Qira’ah Mu’ashirah (1992), justru berpendapat lain mengenai ayat tersebut. Menurutnya larangan wa la yadlribna bi arjulihinna hanya dimaksudkan agar perempuan tidak menampakkan bagian tubuh mereka yang termasuk kategori al-juyub al khafiyyah, yaitu bagian tubuh yang tersembunyi yang berlekuk, bercelah dan mempunyai tingkat. Bagi perempuan itu berarti bagian antara buah dada, dibawah buah dada, di bawah ketiak, kemaluan dan kedua bidang pantat. Itu adalah batasan minimalnya (al hadd al-adna). Sedangkan batasan maksimalnya adalah berdasarkan hadits nabi yang menyatakan seluruh bagian tubuh perempuan adalah ‘aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Sehingga ia berpandangan bahwa batas maksimal tubuh perempuan yang harus ditutupi adalah seluruh tubuh kecuali wajah, telapak tangan dan telapak kaki. Konsekuensinya, perempuan yang menutup seluruh bagian tubuhnya berarti telah melanggar hudud (batasan ketentuan) Allah. Begitu pula yang memperlihatkan bagian tubuhnya yang termasuk kategori al-juyub tadi. Banyak yang tidak bersepakat dengan pandangan Shahrour ini, namun banyak pula yang sepakat dengannya.

Jika dilihat dari sejarahnya, ketentuan mengenai jilbab ini merupakan respon terhadap tradisi pakaian perempuan Arab Jahiliyah waktu itu. Sebagaimana digambarkan oleh Ibn Katsir dan Imam Zarkasyi; “perempuan pada masa jahiliyah biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dan tanpa ada selimut sedikitpun. Bahkan kadang mereka memperlihatkan lehernya untuk memperlihatkan semua perhiasannya”. “Oleh karena itu segera diperintahkan untuk mengulurkan kerudung di bagian depan agar bisa menutup dada mereka.” Dalam Islam juga banyak buku tentang hijab ditulis, yang dalam pengertian luasnya menyebutkan pakaian perempuan Islam yang baik, pemisahan perempuan dan pembatasan kontak perempuan dengan laki-laki yang bukan keluarganya. Sementara ayat-ayat yang berkenaan dengan hijab tidak memberikan perintah yang tersurat bagi permpuan Islam, kecuali hanya bagi istri-istri nabi.

Ketiga, formalisasi hukum Islam dalam hukum positif di Indonesia. Secara teori hukum Islam atau syari’at Islam dapat masuk menjadi hukum postif di Indonesia, manakala dapat disepakati secara demokratis penepannya. Namun demikian ia tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Negara tidak boleh turut campur terlalu jauh dalam kehidupan pribadi warga negaranya. Misalnya dalam hal penentuan pakaian dan perannya dalam suatu rumah tangga. Dalam hal peraturan hukum itu dibuat oleh institusi yang lebih rendah maka ia tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi. Misalnya jika peraturan itu adalah perda, maka ia tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya, Peraturan pemerintah maupun Undang-undang.

Keempat, asumsi-asumsi yang mendasari terkait dengan perempuan. Bahwa usulan atau aturan mengenai kewajiban berjilbab seringkali didasari atas asumsi untuk melindungi perempuan, mencegah terjadinya kekerasan dan sebagainya. Pada kenyataanya yang terjdi bukannya melindungi tapi lebih pada pengendalian dan kontrol terhadap tubuh perempuan. Apakah benar dengan kewajiban berjilbab, kekerasan akan dapat terkurangi. Karena pada kenyataanya kekerasan terhadap perempuan seringkali terjadi bukan karena pakaiannya atau karena penampilannya. Tapi karena adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Bahkan kebanyakan pelaku kekerasan adalah orang yang selama ini dianggap sebagai pelindung dan penjaga perempuan, seperti suami, keluarga, pacar, teman, dst.

Oleh karena kita patut mempertanyakan kembali gagasan wajib berjilbab bagi perempuan. Apakah memang untuk melindungi perempuan atau untuk mengendalikan perempuan? Apakah untuk menjawab persoalan atau lebih karena demi kepentingan politik identitas semata?

cinta diujung maya

aku menulis untuk kubaca dalam hati
aku berbicara untuk didengar dalam hati
aku juga melihat untuk sebuah nama yang mekar dihati
kupu-kupu.....
disini aku terantuk waktu
menyusun rencana tanpa skripsi
melihatmu dalam gelas kaca yang putih
seperti kebun jeruk itu..
yang didahnnya ditumbuhi daun-daun sabda
tempat-kupu-kupu melambaikan kata.
sementara....aku tak bisa menulis puisi
walau hanya sebait cinta untukmu......

buat blogger istimewaku,tanpa menyebutkan nama, tanpa menuliskan alamat kota, bismillah, selamat memnunaikan damai dihati. Sekedar tulisan pribadiku disela sibukku yang terlantar.Sumenep, 31 Mei 2009.
Bayu Blog/Artikel

Bismillahirrahmaanirrahiim

Bismillahirrahmaanirrahiim
Kreativitas Dari Dunia Pesantren

Manohara

Manohara receives a kiss from her mother at their home in West Jakarta on Sunday

TIM PENGACARA MUSLIM

TIM PENGACARA MUSLIM - MOSLEM LAWYER TEAM

JIWA-JIWA PESANTREN

JIWA-JIWA PESANTREN

Ranah Cinta

poem by: Ferry Arbania

10-05-2009

siapapun boleh berucap cinta,

tapi bukan disini.....

siapapun berhak menanyakan cinta,

tapi bukan untuk siapa-siapa.....

berucaplah dengan bangga,

"bahwa tak seorangpun berhak menampik surga".

Profile Pengasuh

Foto saya
JuRnAlIs yAnG SuKa NuLiS pUiSi

Pengikut

Ferry Arbania

Ferry Arbania
ladangsyahwat.blogspot.com

Investigasi

Investigasi
radarpemkab.blogspot.com

Wina Dibibir Pantai

Wina Dibibir Pantai
Memasuki ranah pantai, dengan debaran ombak yang meliuk di jantung laut, senyummu tampak mengembang,menandakan karibnya persahabatan


Sejarah Pesantren di Indonesia

Sejarah Pesantren di Indonesia 

Lembaga pendidikan Islam tertua yang telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India shaslii dari akar kata shastra yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”.
Di luar Pulau Jawa lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti surau (di Sumatra Barat), dayah (Aceh), dan pondok (daerah lain).