Sumenep Raya

Pesan Moral

Minggu, 31 Mei 2009

Jilbab : Untuk Melindungi atau Mengendalikan Perempuan?

Beberpa waktu lalu FUI (Forum Ukhuwah Islamiyah) Yogyakarta yang terdiri dari HTI (Hizbut Tahrir Indonesia, MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) dan FSRMY (Forum Silaturrahmi Temaja Masjid Yogyakarta) mendesak diberlakukannya perda wajib jilbab di wilayah DI. Yogyakarta bagi pelajar dan perempuan di pemerintahan. “Perda ini sebagai alternatif menekan angka kriminalitas terhadap kaum wanita serta memperbaiki akhlak bangsa,” begitu alasan yang dikemukan oleh Ketua FUI DIJ Prof Ahmad Mursyidi (Jawa Pos Radar Jogja, 8 Sep 2006).

Fenomena di atas bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Sejak desentralisasi (1999) yang memberikan kewenangan lebih luas bagi daerah untuk membuat regulasi khusus mengenai daerahnya masing-masing, banyak daerah di Indonesia yang berusaha membuat Perda bernuansa Syariat Islam. Sebut saja Aceh, Gowa, Bulukumba, Sumbar, Lampung, Tangerang, Indramayu hingga Cianjur. Perda yang dibuat rata-rata berbicara soal miras (minuman keras), prostitusi, serta jilbab. Mereka meyakini bahwa syari’at Islam memiliki jawaban terhadap segala problem yang dihadapi masyarakat. Namun tidak demikian bagi perempuan, perda bernuansa syari’at Islam ini justru dinilai banyak pihak menyudutkan perempuan.

Hampir di setiap gerakan penerapan syari’at Islam, dapat dipastikan bahwa perempuanlah program awalnya. Salah satunya yang paling mendapat perhatian adalah masalah wajib jilbab bagi perempuan. Hampir pasti wacana yang berkembang pertama kali untuk membuktikan bahwa suatu daerah itu menerapkan syari’at Islam adalah dengan mewajibkan perempuan memakai jilbab. Seakan-akan jilbab adalah indikator paling nyata dari keberhasilan penerapan syari’at Islam. Bahkan untuk memastikan penerapannya dibuatlah peraturan beserta lembaga pengawasnya, serta diterapkannya sanksi bagi mereka yang melanggarnya.

Sebelum kita sepakat atau tidak sepakat dengan gerakan penerapan syari’at Islam, khususnya yang terkait dengan kewajiban berjilbab bagi perempuan, setidaknya ada empat hal yang perlu didiskusikan, yaitu syari’at Islam, jilbab, formalisasi hukum dan asumsi-asumsi yang mendasari terkait dengan perempuan.

Pertama, syari’at dalam Islam dipahami sebagai sebuah sistem normatif Islam yang sangat komprehensif. Ia mencakup persoalan hukum, akidah, doktrin, ritual atau ibadah, interaksi dan hubungan sosial atau muamalah. Sedangkan intisari atau isi dari syari’at adalah totalitas kewajiban agama dalam kehidupan publik maupun individu. Menurut Abdullah Ahmad An Naim, syari’at sebagai akidah dan ibadah bukanlah suatu yang bersifat positif yang dapat dijadikan sebagai subyek dari suatu legislasi. Misalnya yang terjadi di Arab Saudi, yaitu memaksa orang ke masjid untuk menunaikan sholat, di bawah ancaman sejata. Hal ini tidak bisa dibilang ibadah kepada Tuhan, karena substansi ibadah membutuhkan totalitas, sementara ia berada dalam suatu ancaman senjata. Dengan demikian ide memaksa orang beribadah atau memaksa perempuan memakai jilbab untuk melindungi laki-laki agar hasrat seksualnya tidak memuncak adalah semua hal yang pada dasarnya melawan tujuan dasar syari’at dan ibadah itu sendiri.

Syari’at juga seringkali dipahami sebagai hukum Islam atau bahkan sebatas fiqh itu saja. Pengertian ini didasarkan atas penafsiran ayat Al Qur’an; “waman lam yahkum bi ma anzala-allah fa’ulaika hum al fasiqun” (barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, mereka adalah orang-orang fasiq…). Tapi ayat ini tidak menjelaskan maksud dari ‘apa’ yang diturunkan Allah (bi ma anzala-Allah), sehingga menimbulkan perbedaan penafsiran dan ketidak sepakatan umat Islam dalam sejarah. Karenanya ia tidak bisa dimasukkan dalam kebijakan publik, karena hanya merupakan pendapat atau opini individu.

Kedua, kewajiban berjilbab bagi perempuan muslim. Para ulama Islam berbeda pendapat mengenai kewajiban berjilbab bagi perempuan ini. Mereka yang mewajibkan perempuan berjilbab mendasarkannya pada QS Al-Nur: 31, yaitu; “wa al-yadlribna bi khumurihinna ‘ala juyubihinna wa la yubdina zinatahunna illa bu’ulatihinna… wa la yadlribna bi arjulihinna li yu’lama ma yukhfina min zinatihinna… (dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya kecuali pada suami mereka… dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang disembunyikannya…).

Namun demikian Mohammed Shahrour dalam bukunya al-Kitab wa Alqur’an: Qira’ah Mu’ashirah (1992), justru berpendapat lain mengenai ayat tersebut. Menurutnya larangan wa la yadlribna bi arjulihinna hanya dimaksudkan agar perempuan tidak menampakkan bagian tubuh mereka yang termasuk kategori al-juyub al khafiyyah, yaitu bagian tubuh yang tersembunyi yang berlekuk, bercelah dan mempunyai tingkat. Bagi perempuan itu berarti bagian antara buah dada, dibawah buah dada, di bawah ketiak, kemaluan dan kedua bidang pantat. Itu adalah batasan minimalnya (al hadd al-adna). Sedangkan batasan maksimalnya adalah berdasarkan hadits nabi yang menyatakan seluruh bagian tubuh perempuan adalah ‘aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Sehingga ia berpandangan bahwa batas maksimal tubuh perempuan yang harus ditutupi adalah seluruh tubuh kecuali wajah, telapak tangan dan telapak kaki. Konsekuensinya, perempuan yang menutup seluruh bagian tubuhnya berarti telah melanggar hudud (batasan ketentuan) Allah. Begitu pula yang memperlihatkan bagian tubuhnya yang termasuk kategori al-juyub tadi. Banyak yang tidak bersepakat dengan pandangan Shahrour ini, namun banyak pula yang sepakat dengannya.

Jika dilihat dari sejarahnya, ketentuan mengenai jilbab ini merupakan respon terhadap tradisi pakaian perempuan Arab Jahiliyah waktu itu. Sebagaimana digambarkan oleh Ibn Katsir dan Imam Zarkasyi; “perempuan pada masa jahiliyah biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dan tanpa ada selimut sedikitpun. Bahkan kadang mereka memperlihatkan lehernya untuk memperlihatkan semua perhiasannya”. “Oleh karena itu segera diperintahkan untuk mengulurkan kerudung di bagian depan agar bisa menutup dada mereka.” Dalam Islam juga banyak buku tentang hijab ditulis, yang dalam pengertian luasnya menyebutkan pakaian perempuan Islam yang baik, pemisahan perempuan dan pembatasan kontak perempuan dengan laki-laki yang bukan keluarganya. Sementara ayat-ayat yang berkenaan dengan hijab tidak memberikan perintah yang tersurat bagi permpuan Islam, kecuali hanya bagi istri-istri nabi.

Ketiga, formalisasi hukum Islam dalam hukum positif di Indonesia. Secara teori hukum Islam atau syari’at Islam dapat masuk menjadi hukum postif di Indonesia, manakala dapat disepakati secara demokratis penepannya. Namun demikian ia tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Negara tidak boleh turut campur terlalu jauh dalam kehidupan pribadi warga negaranya. Misalnya dalam hal penentuan pakaian dan perannya dalam suatu rumah tangga. Dalam hal peraturan hukum itu dibuat oleh institusi yang lebih rendah maka ia tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi. Misalnya jika peraturan itu adalah perda, maka ia tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya, Peraturan pemerintah maupun Undang-undang.

Keempat, asumsi-asumsi yang mendasari terkait dengan perempuan. Bahwa usulan atau aturan mengenai kewajiban berjilbab seringkali didasari atas asumsi untuk melindungi perempuan, mencegah terjadinya kekerasan dan sebagainya. Pada kenyataanya yang terjdi bukannya melindungi tapi lebih pada pengendalian dan kontrol terhadap tubuh perempuan. Apakah benar dengan kewajiban berjilbab, kekerasan akan dapat terkurangi. Karena pada kenyataanya kekerasan terhadap perempuan seringkali terjadi bukan karena pakaiannya atau karena penampilannya. Tapi karena adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Bahkan kebanyakan pelaku kekerasan adalah orang yang selama ini dianggap sebagai pelindung dan penjaga perempuan, seperti suami, keluarga, pacar, teman, dst.

Oleh karena kita patut mempertanyakan kembali gagasan wajib berjilbab bagi perempuan. Apakah memang untuk melindungi perempuan atau untuk mengendalikan perempuan? Apakah untuk menjawab persoalan atau lebih karena demi kepentingan politik identitas semata?

cinta diujung maya

aku menulis untuk kubaca dalam hati
aku berbicara untuk didengar dalam hati
aku juga melihat untuk sebuah nama yang mekar dihati
kupu-kupu.....
disini aku terantuk waktu
menyusun rencana tanpa skripsi
melihatmu dalam gelas kaca yang putih
seperti kebun jeruk itu..
yang didahnnya ditumbuhi daun-daun sabda
tempat-kupu-kupu melambaikan kata.
sementara....aku tak bisa menulis puisi
walau hanya sebait cinta untukmu......

buat blogger istimewaku,tanpa menyebutkan nama, tanpa menuliskan alamat kota, bismillah, selamat memnunaikan damai dihati. Sekedar tulisan pribadiku disela sibukku yang terlantar.Sumenep, 31 Mei 2009.

Sabtu, 30 Mei 2009

Ranah Pesantren

Ranah Pesantren lahir dari percikan kegelisahan ummat di akhir zaman. Dimana banyak kalangan pesantren (baca:Kiyai) berlomba-lomba diranah politik, yang pada akhirnya membuat "jarak" dikalangan ummat. Betapapun Islam menghargai perbedaan, namun fakta yang berkembang justru masyrakat tercerai dalam kepentingan para politisi, yang didalamnya adalah para kiyai. Politik dalam Islam adalah kendaraan yang mengantarkan ke puncak kejayaan Islam.Bagaimana dinegeri kita? Politik justru bersifat kepentingan. Kawan jadi lawan, lawanpun jadi kawan .Mungkin sudah nyaris tiba, bahwa Al-Quran diakhir zaman akan tinggal tulisannnya dan perkataan Ulama tak lagi didengarkan__apalagi diamalkan.Mari bersatu membangun ukhuwah Basyariyah, terlebih yang mukmin, mari kita galang ukhuwah Islamiyah yang sesungguhnya.Salam damai dari keheningan jiwa....!

Hati-hati dengan Salam !!

Ucapan ”Assalamu’alaikum”, merupakan anjuran agama, dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan umat beragama, dengan salam dapat menjalin persaudaraan dan kasih sayang, karena orang yang mengucapkan salam berarti mereka saling mendo’akan agar mereka mendapat keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kalian tak akan masuk surga sampai kalian beriman dan saling mencintai. Maukah aku tunjukkan satu amalan bila dilakukan akan membuat kalian saling mencintai? Yaitu, sebarkanlah salam di antara kalian.” [HR Muslim dari Abi Hurairah]

Saya seringkali menerima sms atau e-mail dari beberapa kawan dan juga beberapa ustadz yang mengawali salamnya dengan singkatan. Singkatannya pun macam-macam. Ada yang singkat seperti "Asw" atau "Aslm". Ada yang sedikit lebih panjang seperti ; “Ass Wr Wb” atau “Aslmwrwb” . Namun yang sering saya dapatkan, adalah singkatan "Ass". Singkatan terakhir ini paling umum dan paling sering digunakan. Bagi saya, ini adalah singkatan yang tidak enak untuk dibaca, terlebih kalau mengerti artinya.
Marilah kita simak singkatan ini. Dalam kamus linguistik yang saya punya, arti dari kata Ass yang berasal dari bahasa Inggris itu adalah sebagai berikut;
“Ass” berarti: Pertama, kb. (animal) yang artinya keledai. Kedua, orang yang bodoh. Don't be a silly (Janganlah sebodoh itu). Dan ketiga, Vlug (pantat).
Padahal seperti kita ketahui ucapan Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh adalah sebuah ucapan salam sekaligus doa yang kita tujukan kepada orang lain. Ucapan salam dalam Islam sesungguhnya merupakan do’a seorang Muslim terhadap saudara Muslim yang lain. Maka, apabila kita mengucap salam dengan hanya menuliskan "Ass", secara tidak sadar mungkin kita malah mendoakan hal yang buruk terhadap saudara kita.

Kita paham, mungkin banyak orang diantara kita cukup sibuk dan ingin cepat buru-buru menulis pesan. Barangkali, singkatan itu bisa mempercepat pekerjaan. Karena itu, penulis menyarankan, jika memang keadaan sedang tidak memungkinkan untuk menulis salam lewat SMS dengan kalimat lengkap karena sedang menyetir di jalan, misalnya, solusinya cukup mudah adalah menulis pesan to the point saja. Tulislah “met pagi, met siang, met malam dan seterusnya. Ini masih lebih baik dibandingkan kita harus memaksakan diri menggunakan singkatan dari doa keselamatan Assalamu'alaikum menjadi "Ass" (pantat).

Jangan sampai awalnya kita ingin menyampaikan doa keselamatan yang terjadi justeru sebaliknya, mendoakan keburukan. Kalau boleh saya mengistilahkah, niat baik ingin berdoa, jadinya malah ucapan kotor.

Ucapan salam adalah ucapan penghormatan dan doa. Apabila kita dihormati dengan suatu penghormatan maka seharusnya kita membalas dengan sebuah penghormatan pula yang lebih baik, atau minimal, balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah akan memperhitungkan setiap yang kamu kerjakan.

Hasa saja, kalau kita mengganti ucapan kalimat salam arti awalnya sangat mulia, maka, yang terjadi adalah sebaliknya, salah dan bisa-bisa menjadi umpatan kotor.
Karena itu, jika tidak berhati-hati, mengganggati ucapan Assalamu’alaikum (Semoga sejahtera atasmu) dengan menyingkatnya menjadi “Ass” (pantat), ini mirip dengan mengganti doa yang baik dengan mengganti dengan bahasa jalanan orang Jakarta, yang artinya kira-kira, berubah arti menjadi (maaf) “Pantat Lu!”
Singkatan ala Rasulullah
Meski nampak sederhana, ucapan salam sudah diatur oleh agama kita (Islam). Ucapan Assalamu alaikum dalam Bahasa Arab, digunakan oleh kaum Muslim. Salam ini adalah Sunnah Nabi Muhammad SAW, intinya untuk merekatkan ukhuwah Islamiyah umat Muslim di seluruh dunia. Mengucapkan salam, hukumnya adalah sunnah. Sedangkan bagi yang mendengarnya, wajib untuk menjawabnya. Itulah agama kita.

Sebelum Islam datang, orang Arab terbiasa menggunakan ungkapan-ungkapan salam yang lain, seperti Hayakallah. Artinya semoga Allah menjagamu tetap hidup. Namun ketika Islam datang, ucapan itu diganti menjadi Assalamu ‘alaikum. Artinya, semoga kamu terselamatkan dari segala duka, kesulitan dan nestapa.

Ibnu Al-Arabi didalam kitabnya Al-Ahkamul Qur’an mengatakan, bahwa salam adalah salah satu ciri-ciri Allah SWT dan berarti "Semoga Allah menjadi Pelindungmu" .
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa Rasul bersabda, “Kamu tidak akan masuk surga hingga kamu beriman, dan kamu tidak beriman hingga kamu saling mencintai (karena Allah). Apakah kamu maujika aku tunjukkanpada satu perkara jika kamu kerjakan perkara itu maka kamu akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kamu!” (HR. Muslim)

Abu Umammah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Orang yang lebih dekat kepada Allah SWT adalah yang lebih dahulu memberi Salam.” (Musnad Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi)

Abdullah bin Mas’ud RA meriwayatkan Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Salam adalah salah satu Asma Allah SWT yang telah Allah turunkan ke bumi, maka tebarkanlah salam. Ketika seseorang memberi salam kepada yang lain, derajatnya ditinggikan dihadapan Allah. Jika jama’ah suatu majlis tidak menjawab ucapan salamnya maka makhluk yang lebih baik dari merekalah (yakni para malaikat) yang menjawab ucapan salam.” (Musnad Al Bazar, Al Mu’jam Al Kabir oleh At Tabrani)

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang kikir yang sebenar-benarnya kikir ialah orang yang kikir dalam menyebarkan Salam.” Allah SWT berfirman didalam Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 86. Demikianlah Allah SWT memerintahkan agar seseorang membalas dengan ucapan yang setara atau yang lebih baik.

Bedanya agama kita dengan agama lain, setiap Muslim ketika mengucapkan salam kepada saudaranya, dia akan diganjar dengan kebaikan (pahala).
Dalam kaidah singkat menyingkat pun sudah diatur oleh Allah dan diajarkan kepada Rasulullah. Dalam suatu pertemuan bersama Rasulullah SAW, seorang sahabat datang dan melewati beliau sambil mengucapkan, “Assalamu ‘alaikum”. Rasulullah SAW lalu bersabda, “Orang ini mendapat 10 pahala kebaikan,” ujar beliau.

Tak lama kemudian datang lagi sahabat lain. Ia pun mengucapkan, “Assalamu‘alaikum Warahmatullah.” Kata Rasulullah SAW, “Orang ini mendapat 20 pahala kebaikan.” Kemudian lewat lagi seorang sahabat lain sambil mengucapkan, “Assalamu ‘alaikum warahmatullah wa baraokatuh.” Rasulullah pun bersabda, “Ia mendapat 30 pahala kebaikan.” [HR. Ibnu Hibban dari Abi Hurairah].

Nah dari tiga singkatan itu silahkanAnda pilih yang mana yang Anda inginkan tanpa harus menyingkatnya sendiri yang justru bisa menghilangkan nilai pahalanya. Tentu saja, jangan Anda lupakan, tiga singkatan itu sudah rumus dari Nabi yang dipilihkan untuk kita.

Satu hal lagi yang perlu diingat adalah ketika kita menuliskan kata Assalamu'alaikum, perlu diperhatikan agar jangan sampai huruf L nya tertinggal sehingga menjadi Assaamu'alaikum.

Karena apa ? Diriwayatkan bahwa dahulu ada seorang Yahudi yang memberi salam kepada Nabi dengan ucapan "Assaamu 'alaika ya Muhammad" (Semoga kematian dilimpahkan kepadamu).
Dan kata assaamu ini artinya kematian. Kata ini adalah plesetan dari "Assalaamu 'alaikum". Maka nabi berkata, "Kalau orang kafir mengatakan padamu assaamu 'alaikum, maka jawablah dengan wa 'alaikum (Dan semoga atas kalian pula)." [HR. Bukhari]

Tulisan ini, mungkin nampak sederhana. Meski sederhana, dampaknya cukup besar. Boleh jadi, kita belum pernah membayangkannya selama ini. Nah, setelah ini, sebaiknya alangkah lebih baik jika memulai kembali menyempurnakan salam kepada saudara kita. Tapi andaikata memang kondisi tak memungkinkan, sebaiknya, pilihlah singkatan yang sudah dipilihkan Nabi kita Muhammad SAW tadi. Mungkin Anda agak capek sedikit tidak apa-apa, sementara sedikit capek, 30 pahala kebaikan telah kita kantongi.
(sumber : Hidayatullah.com)

Selasa, 26 Mei 2009

Punya Friendster, Kiai Lirboyo Dikirimi Gambar Porno

Sabtu, 23 Mei 2009 | 06:27 WIB

lirboyoTEMPO Interaktif, Kediri: Forum bahtsul massail (pembahasan masalah) putri XI di Pondok Pesantren Lirboyo memutuskan mengharamkan mencari jodoh melalui situs jejaring sosial semacam Facebook dan Friendster.

Rapat yang diikuti oleh 700 perwakilan dari pondok pesantren se-Jawa-Bali itu menetapkan hanya memperbolehkan situs jejaring sosial untuk kebutuhan syariat. Kebutuhan ini semisal muamalat atau jual-beli, dakwah, tablig, dan khitbah (lamaran).

"Mencari jodoh yang belum diketahui orangnya itu haram. Sebab, akan cenderung memicu perbuatan iseng dan pornografi," kata Ketua Komisi C yang menggodok masalah itu, ustad Masruchan, kemarin.

Karena itu, kata Masruchan, forum itu merekomendasikan kepada para penggemar Facebook atau Friendster untuk menghindari hal-hal yang diperbolehkan itu.

Selain itu, kata Masruchan, forum meminta kepada pemilik Facebook untuk lebih mengontrol situsnya itu. "Jangan sampai menjadi seperti Friendster," katanya. "Friendster sudah mengarah ke pornografi."

Juru bicara Pondok Pesantren Lirboyo, Nabil Haroen, mengungkapkan salah satu ulama Pondok Pesantren Lirboyo ada yang memiliki Friendster. Ulama itu, kata dia, pernah mendapat kiriman gambar porno.

"Jika dalam perkembangannya peringatannya tak diindahkan pemilik, kami akan berkumpul kembali untuk membahas penetapan pengharaman Facebook," ujarnya.

Gayung bersambut. Keputusan itu disambut baik oleh Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur. Mereka mendukung keputusan yang ditelurkan forum bahtsul massail Ponpes Lirboyo itu. "Pokoknya, apa pun yang dikonotasikan dengan maksiat memang haram," kata Ketua MUI Jawa Timur Abussomad Bukhori.

Apalagi, kata Bukhori, jejaring sosial seperti itu masuk kategori khalwah (mojok) yang sangat rentan terhadap kemaksiatan.

Kerentanan ini, kata dia, disebabkan oleh komunikasi yang dilakukan tidak berupa tatap muka langsung, melainkan hanya menggunakan media Internet.

Hal berbeda diungkapkan oleh pengurus Muhammadiyah Jawa Timur. Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhamadiyah Jawa Timur Nadjib Hamid mengatakan fatwa haram itu sangat berlebihan. "Itu bukan wilayah halal dan haram," katanya.

Kata Nadjib, situs jejaring sosial semacam itu merupakan kemajuan teknologi yang harusnya dimanfaatkan. "Manfaat atau tidaknya tergantung penggunaannya," ujarnya.

Adapun Muhammadiyah, kata Nadjib, sangat mendukung kemajuan teknologi semacam itu. Sebab, teknologi itu sangat bermanfaat untuk komunikasi.

Sebelumnya, Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf meminta para peserta forum bahtsul masail di itu berhati-hati dalam memutuskan hukum teknologi jejaring sosial itu.

Kata Gus Ipul--sapaan akrab Saifullah, untuk mengkaji masalah itu diperlukan pemahaman yang mendalam tentang teknologi. Sebab, kecanggihan teknologi selalu membawa dampak manfaat dan mudarat sekaligus. "Jangan sampai yang memutuskan itu tidak pernah membuka Facebook," katanya.

Gus Ipul khawatir jika keputusan yang diambil instan justru akan tak digubris orang seperti saat ulama mengeluarkan fatwa haram rokok. "Setelah diprotes banyak orang, haram itu akhirnya menjadi halal," katanya.

Senin, 25 Mei 2009

Depag: Ujian Nasional tak Cocok bagi Madrasah

By Republika Newsroom
Minggu, 24 Mei 2009 pukul 12:54:00
JAKARTA--Sistem ujian nasional tidak cocok diterapkan bagi pendidikan Islam (madrasah), kata Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Kurikulum Madrasah dan Evaluasi Direktorat Jenderal Pendidikan Madrasah Departemen Agama (Depag), Mahsusi.

Mahsusi mengungkapkan hal tersebut saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II Persatuan Tarbiyah Indonesia, di Jakarta Selatan, Minggu. "Sistem kurikulum antara sekolah umum berbeda dengan sekolah madrasah sehingga ujian nasional tidak bisa diberlakukan sama," kata Mahsusi.

Mahsusi mengatakan kurikulum di sekolah madrasah seperti praktik salat, bahasa Arab dan akidah, tidak ada tolok ukurnya karena bukan ujian teori sehingga tidak cocok apabila diterapkan melalui ujian nasional.

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) memberlakukan sistem ujian nasional bagi sekolah umum, namun sekolah madrasah pun harus menyesuaikannya karena sesuai aturan yang berlaku.

Namun demikian, Mahsusi menyetujui sistem penilaian yang memberlakukan standar nasional karena bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, serta menjadi pegangan bagi madrasah guna mengukur pencapaian siswa terhadap nilai pelajarannya.

Terkait tentang perkembangan sekolah berbasis agama di Indonesia, Mahsusi menuturkan pihaknya mulai memberlakukan pelajaran Pendidikan Agama Islam berstandar internasional.

Data Depag menunjukkan pemerintah pusat menyediakan Anggaran Pendapatan Dana Nasional (APBN) tahun 2009 sebesar Rp26 triliun bagi Depag, Rp23 triliun di antaranya untuk anggaran program Direktorat Pendidikan Agama.

Mahsusi mengungkapkan pemerintah pusat, provinsi hingga kabupaten/kota wajib menganggarkan dana untuk pembangunan madrasah dan pondok pesantren (ponpes).

"Aturan tersebut untuk pengembangan madrasah dan ponpes di daerah," katanya.
Saat ini jumlah madrasah di Indonesia mencapai 430 lokasi terdiri dari 8 persen berstatus negeri, sisanya swasta dan dikelola swadaya masyarakat, sedangkan jumlah muridnya sekitar 6 juta orang.ant/kem

Kamis, 14 Mei 2009

WARTAWAN WARTAWAN...???

5 tahun yang lalu, sebelum saya terjun didunia broadcasting radio, saya dikenal dengan jago baca puisi utuk kalangan jawa timur. Namun, karena saya tidak biasa "mendekat" dengan orang2 media (wartawan/reporter) nama saya tidak begitu dikenal kecuali hanya beberap kelompok dan orang2 tertentu saja. Baru tahun 2007 saya dipaksa temen2 untuk mengikuti kontes penyiar nada fm (radio swasta pertama di Madura).Setelah didesak temen2 akhirnya saya mau juga dan alahamdulillah juara. Hadiahnya lumayan buat nraktir temen2 sambil diskusi tentangprofesi penyiar dan wartawan. Alahasil sayapun di tawarin pimpinan radio nada. Waktu itu nada fm belum masuk jaringan radio terkemuka di indonesia seperti radio trijaya network,dan suara surabaya FM 100 Surabaya.Tarakan kalimantan, kediri, Banyuwangi,dan lain2. Baru satu tahun kemudian kita ditawarin bergabung dg radio terkemuka itu untuk sharing informasi setiap hari dari senin-sabtu setiap jam 07.00 (pagi)dan jam 17.10 (5 sore). Saya baru merasakan, betapa wartawan adalah profesi yang penuh dengan tantangan.Orang-orang banyak menilai wartawan hanya mencari kesalahan orang lain.Mulai dari persoalan raskin,hingga masalah korupsi di tingkatan eksekutif. Saya tidak bisa menyalahkan siapa2. Paling tidak mereka sudah sering melihat atau ketemu dengan wartawan yang suka memeras, minta uang dan bahkan menipu. Maka, saya pribadi yang saat ini tengah berprofesi sebagai penyiar radio dan wartawan, sangat berterima kasih sekali, apabila Anda sudi meluruskan insan pers yang bengkok.Bukankah Rosulullah bersabda " katakanlah (kebaikan) itu sekalipun pahit". Satu hal yang membuat saya bertahan dari profesi ini, JADILAH WARTAWAN YANG TAAT PADA ATURAN ALLAH.

Selasa, 05 Mei 2009

Pesantren dan Arus Modernisasi

M Dawam Rahardjo (1995) berpandangan bahwa pesantren adalah lembaga yang dapat mewujudkan proses perkembangan sistem pendidikan Nasional. Secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman an sich, melainkan menampakkan keaslian (indegeneous) daerah Indonesia; sebab lembaga yang serupa sudah terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sedangkan Islam meneruskan dan mengislamkannya.

Pondok pesantren Islam sebetulnya banyak berperan mendidik sebagian bangsa Indonesia sebelum lahirnya lembaga-lembaga pendidikan lain yang cenderung mengikuti pola “Barat” yang modern. Oleh karena itu, lembaga pendidikan pesantren acapkali dijuluki sebagai basis pendidikan tradisional yang khas Indonesia. Pondok pesantren berkembang pesat dan lebih dikenal kegiatannya kira-kira sejak tahun 1853 dengan jumlah santri sekitar 16.556 dan tersebar pada 13 kabupaten di pulau Jawa (Z. Dhofier; 1994).

Lantas, pertanyaan yang patut diajukan dalam tulisan ini adalah: bagaimana peta tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga pendidikan warisan dari perpaduan budaya asli Indonesia dan khazanah keislaman dalam menjawab tantangan modernitas? Apakah mesti menyesuaikan (ngigeulan) zaman ataukah sampai pada mengelola (ngigeulkeun) tantangan era modern yang cenderung menggusur manusia pada pemahaman yang positivistik?

Sebab, sebagai satu-satunya lembaga pendidikan swasta, pesantren memiliki kekuatan yang dahsyat hasil dari motivasi dari para pendirinya (founding fathers) untuk mencerdaskan bangsa tanpa mengurusi “tetek bengek” keuntungan ekonomis semata. Melainkan menjalankan amanat pendidikan profetik yang digariskan oleh ajaran Islam sebagai penghantar terwujudnya manusia yang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sangat urgen untuk dimiliki oleh setiap manusia di era modern ini.
Bayu Blog/Artikel

Bismillahirrahmaanirrahiim

Bismillahirrahmaanirrahiim
Kreativitas Dari Dunia Pesantren

Manohara

Manohara receives a kiss from her mother at their home in West Jakarta on Sunday

TIM PENGACARA MUSLIM

TIM PENGACARA MUSLIM - MOSLEM LAWYER TEAM

JIWA-JIWA PESANTREN

JIWA-JIWA PESANTREN

Ranah Cinta

poem by: Ferry Arbania

10-05-2009

siapapun boleh berucap cinta,

tapi bukan disini.....

siapapun berhak menanyakan cinta,

tapi bukan untuk siapa-siapa.....

berucaplah dengan bangga,

"bahwa tak seorangpun berhak menampik surga".

Profile Pengasuh

Foto saya
JuRnAlIs yAnG SuKa NuLiS pUiSi

Pengikut

Ferry Arbania

Ferry Arbania
ladangsyahwat.blogspot.com

Investigasi

Investigasi
radarpemkab.blogspot.com

Wina Dibibir Pantai

Wina Dibibir Pantai
Memasuki ranah pantai, dengan debaran ombak yang meliuk di jantung laut, senyummu tampak mengembang,menandakan karibnya persahabatan


Sejarah Pesantren di Indonesia

Sejarah Pesantren di Indonesia 

Lembaga pendidikan Islam tertua yang telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India shaslii dari akar kata shastra yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”.
Di luar Pulau Jawa lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti surau (di Sumatra Barat), dayah (Aceh), dan pondok (daerah lain).